Memahami Lebih Dalam Tentang Retardasi Mental

Alzena Zileiha Cyrilla
(Mahasiswa S1 Psikologi UIN Malang)

Retardasi mental masih terasa awam di kalangan masyarakat umum, padahal kasus retardasi mental di Indonesia terbilang cukup banyak ditemui. Mengacu pada data Kemenkes pada tahun 2023, jumlah kasus anak yang mengalami retardasi mental diperkirakan 1-3% dari total populasi atau sebanyak 6,6 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia.

Retardasi mental seringkali juga dikenal sebagai disabilitas intelektual. Gejala yang paling sering ditemui pada gangguan ini adalah kurangnya perkembangan intelektual pada anak. Nevid dalam bukunya yang berjudul Abnormal Psychology in A Changing World, mengungkapkan jika, anak-anak yang mengidap retardasi mental cenderung memiliki kekurangan dalam kemampuan nalar dan pemecahan masalah, keterampilan untuk berpikir dalam abstrak, penilaian dan kinerja sekolah. 

Sudiharto (2000), mendefinisikan retardasi mental sebagai penurunan fungsi intelektual pada anak yang menyebabkan anak kesulitan untuk beradaptasi secara sosial. Hal ini akan berlangsung selama hidupnya. Umumnya, anak dengan retardasi mental akan mendapatkan kategori di bawah rata-rata jika tingkat intelegensi atau kecerdasannya diukur dengan suatu tes, misal tes WISC dan tes Binet.

Menurut Mengutip Kusmiyati (2021), anak dengan retardasi mental dikelompokkan menjadi 3 tingkatan, diantaranya:

1.       Retardasi mental sangat berat dan berat, dimana anak tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, kesulitan untuk mengurus dirinya sendiri, dan tidak mampu untuk mempelajari sesuatu. Karena itu, anak dengan kategori ini membutuhkan perawatan dan pengawasan yang intens sepanjang hidupnya. Anak dengan retardasi sangat berat dan berat tidak dapat melindungi dirinya dari bahaya atau melakukan komunikasi dengan orang lain. Umumnya, anak dengan retardasi mental pada kategori ini disebut dengan idiot.

2.       Retardasi mental sedang, dengan nama lain anak embisil atau anak mampu latih. Anak dalam kategori ini masih dapat mengikuti kegiatan di sekolah, mengurus dirinya sendiri (mandi, memakai baju, makan dan lain sebagainya) serta melindungi dirinya (seperti berlindung dari hujan, berjalan menjauhi jalan raya dan sebagainya) dengan bimbingan dari orang tua maupun guru. Selain itu, anak embisil masih dapat diajak berdialog dan memahami pekataan dari lawan bicaranya, serta bisa mengerjakan tugas-tugas namun tetap memerlukan pengawasan yang intensif. Anak embisil tidak dapat menulis dan membaca dengan baik.

3.       Retardasi mental ringan, anak dalam kategori ini disebut juga dengan anak moron atau debil. Biasanya, anak masih bisa menulis dan membaca dalam aturan yang sederhana, namun kemampuannya di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan kemampuan anak pada umumnya. Selain itu, anak masih mampu memahami pelajaran dasar, dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan memerlukan bimbingan dari orang tua atau guru.

Ada beberapa ciri jika anak termasuk dalam retardasi mental. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah anak cenderung hiperaktif dan tidak dapat fokus kepada sesuatu. Anak cenderung lemah dalam mengingat dan berpikir, tidak mampu memecahkan suatu masalah, dan kurang bisa mengikuti pembelajaran akaademik. Anak juga kesulitan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mediani dkk pada tahun 2022, yang menunjukkan bahwa 55,6% dari 81 anak dengan retardasi mental yang menjadi subjek dalam penelitiannya memiliki kualitas hidup yang buruk. Faktor yang memberikan pengaruh cukup besar kepada kualitas hidup anak dengan retardasi mental adalah dari orang di sekitarnya, terutama orang tua dan pihak sekolah. Peran orang tua sangat penting, karena jika pola asuh yang diberikan pada anak dengan retardasi mental sudah tepat, maka kualitas hidup anak dapat menjadi baik dan meningkatkan kemampuan intelektual serta sosialnya. Selain itu, dukungan sosial dari lingkungan sekitar juga sangat bermanfaat dalam meningkatkan motivasi dan membantu kualitas hidup anak untuk menjadi lebih baik

Editor: Deni Cahyono


Referensi:

Kusmiyati, K. (2021). Pendekatan Psikososial, Intervensi Fisik, Dan Perilaku Kognitif Dalam Desain Pembelajaran Pendidikan Jasmani Bagi Anak Dengan Retardasi Mental. Movement And Education, 2(1), 74–84. https://doi.org/10.37150/mae.v2i1.1426

Mediani, H. S., Hendrawati, S., & Fatimah, S. (2022). Kualitas Hidup Anak dengan Retardasi Mental. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(4), 2626–2641. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i4.2086

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2015). Abnormal Psychology in A Changing World. In Pearson Education, Inc. (Vol. 9, Issue April).

Perwitasari, D. (2023). Cegah Retardasi Mental dan Stunting, Kementerian Kesehatan Mewajibkan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) di Seluruh Fasyankes di Indonesia. In Kemenkes. https://ayosehat.kemkes.go.id/cegah-retardasi-mental-dan-stunting-kementerian-kesehatan-mewajibkan-skrining-hipotiroid-kongenital-shk-di-seluruh-fasyankes-di-indonesia

Sudiharto, S. (2000). Retardasi Mental. Sari Pediatri, 2(3), 170–177. https://doi.org/10.7454/jki.v6i1.116


Profil

Alzena Zileiha Cyrilla, akrab disapa Nana. Penulis merupakan mahasiswa akhir  program S-1 Psikologi UIN Malang. Nana melakukan program magang dan pengabdian masyarakat di Biro Psikologi Hyui dan SD Dandong 1, Srengat Blitar.